[KRITIK FILM] PRIMBON (2023)

KRITIK FILM PRIMBON: FORMULA MUATAN BUDAYA TRADISIONAL DAN FILM HOROR

Sinopsis

Kisah perdebatan keluarga inti dengan keluarga besar yang meyakini hilangnya Rana (Flavio Zaviera) ketika pergi mendaki gunung di hari yang tidak tepat. Buruknya cuaca dan pribadi Rana yang dilihat budenya (Jajang C. Noer) sebagai sesuatu yang membawa kesialan bila dilihat berdasarkan penghitungan primbon yang mereka yakini. Kembalinya Rana di 7 hari setelah keluarga besar melakukan tahlilan untuk Rana justru menjadi mempertajam perdebatan antara keluarga inti dan keluarga besar. Dini (Happy Salma) sebagai ibu Rana yang sangat yakin bahwa Rana telah kembali justru dibantah keras oleh keluarga besar, sehingga memaksa Dini untuk melakukan ruwatan pada Rana yang dianggap mampu memperlihatkan kebenaran. Perseteruan keluarga ini memperlihatkan bahwa ada perbedaan keyakinan antara keluarga inti yang meyakini logika dengan keluarga besar yang menjalani hidup dengan berpegangan pada primbon. Siapakah yang akan menang di area perdebatan yang tidak berujung ini? Bagaimana posisi Banyu (Nugie) sebagai ayah Rana yang berada di posisi tengah-tengah antara keluarga inti dengan keluarga besar?

Drama dalam Horor: Kekuatan Sekaligus Kelemahan Film Primbon

Primbon menjadi salah satu film horor Indonesia yang mengedepankan logika cerita sebagai kekuatan yang dapat dinikmati oleh penonton. Film ini menawarkan formula film horor yang tidak biasa dilakukan di dalam film horor pada umumnya. Balutan drama dari kehangatan sebuah keluarga mampu menimbulkan rasa haru. Unsur drama yang dominan ini akan menjadi nilai tambah pada pesan film yang ingin disampaikan. Film ini jadinya lebih mengutamakan kekuatan sebuah keluarga yang mampu melawan hal mistis. Aspek visual dan aural yang mendukung adegan dramatis lebih terasa dibandingkan dengan efek spesial untuk menciptakan ketegangan, seperti film horor pada umumnya. Dengan kata lain, formula film horor dalam film Primbon ini diubah untuk mendapatkan sebuah kekuatan yang lebih diterima penonton, selayaknya film drama.

            Penempatan porsi drama yang lebih besar dalam film ini terlihat disengaja dan dirancang berdasarkan alurnya dengan mendramatisasi kepercayaan pada nilai keluarga sebagai kekuatan terbesar. Tidak adanya tokoh yang dimatikan oleh makhluk astral menunjukkan adanya kekuatan manusia yang lebih tinggi. Efek tegang lebih diutamakan pada gangguan yang disebabkan oleh hal-hal mistis. Terkadang pola seperti ini justru menciptakan ketegangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan “penampakan” yang lebih mengedepankan efek kejut di penonton. Oleh karena itu, kepiawaian tim produksi, termasuk para aktor di dalamnya, mampu membangun efek seram di tengah drama yang kuat. Hal ini patut diacungi jempol. 

            Terlepas dari segala kekuatan yang membuat film ini dapat dinikmati dari sisi drama atau horor, ada penyesuaian yang perlu disiapkan ketika menonton film ini. Walaupun beberapa logika film ini masih bisa diperdebatkan, perlu dipertimbangkan kesesuaian unsur budaya yang diangkat dengan pemahaman masyarakat. Penampilan visual yang memukau membuat film ini cukup berani mengubah pola film horor dengan cukup drastis, dengan menghilangkan beberapa unsur menyeramkan, seperti efek kejut dan efek sadis. Sedikitnya penampakan yang mengejutkan, kurangnya visualisasi korban akibat interaksi manusia dengan makhluk astral, dan tidak adanya adegan sadis yang biasanya dinantikan penonton cukup menjatuhkan ekspektasi penonton terhadap film ini. Namun, untuk pencinta drama yang “terjebak” menonton film Primbon justru akan mendapatkan angin segar ketika menonton film horor ini melalui performa yang baik untuk menciptakan adegan mengharukan.

Benturan Muatan Budaya dan Film Horor

Film Primbon menambah deretan film horor yang dilekatkan dengan budaya tradisional Nusantara, khususnya budaya Jawa. Bertambah pula film Indonesia yang mengangkat budaya Jawa dan diidentikkan dengan hal mistis agar menjadi suguhan menarik untuk penonton. Unsur mistis budaya tradisional Nusantara yang diutamakan dalam film horor seakan menjadi “bumbu penyedap” sebagai penambah unsur seram dalam film. Formula ini seakan sedang menjadi tuntutan pasar pencinta horor yang menginginkan adanya budaya tradisional karena dirasa dekat dengan lingkungan masyarakat kita. Kedekatan ini dapat dianggap sebagai buah dari kepemilikan budaya Nusantara yang dibangun sebagai identitas bangsa. Hal inilah yang menjadi rumus dasar formula film horor Indonesia yang mengambil unsur mistis dari kebudayaan tradisional. Pada akhirnya, formula ini seakan berhasil karena dapat memberikan efek seram yang meningkat beberapa level. 

            Seakan tidak hanya ingin mencoba mengikuti formula horor dan budaya tradisional ini, Rudi Soedjarwo justru terlihat memodifikasi formula ini dengan sentuhan drama yang kuat. Tidak hanya di ranah horor, genre drama dalam perfilman di Indonesia (bahkan di dunia) sedang larut dalam drama keluarga yang menjadi “tombol utama” untuk menciptakan drama yang mengharukan. Percobaan Rudi Soedjarwo ini berpotensi mampu menggapai pasar yang lebih luas: pencinta horor dan  pencinta drama. Namun, pada praktiknya, masyarakat sepertinya lebih melihat Rudi Soedjarwo sebagai salah satu dari sekian banyak sineas yang mencoba memanfaatkan budaya Jawa sebagai komoditi film horor sekarang ini. Sentuhan drama yang menyentuh hati seakan tenggelam dengan glorifikasi aspek horor filmnya. Hal ini membuat film Primbonditempatkan di rak yang sama dengan film horor dengan budaya Jawa lain, yang justru menajamkan stereotip bahwa budaya Jawa yang mistis, sehingga sangat cocok untuk film horor. 

Seperti pedang bermata dua, di satu sisi, penggunaan budaya tradisional (dalam film kali ini adalah budaya Jawa) mampu mengenalkan muatan budaya yang belum dipahami oleh penonton secara umum. Penonton dibekali dengan wawasan budaya Nusantara yang dapat disaksikan melalui media yang menyenangkan, seperti film. Di sisi lain, dengan banyaknya pola film horor yang dibalut dengan sentuhan budaya Jawa, penonton akan menganggap unsur mistis budaya Jawa hanya cocok untuk film horor, sehingga tidak sedikit penonton Indonesia yang sudah berpandangan skeptis dengan film horor Indonesia karena lebih banyak hasil yang tidak memuaskan. Stigmatisasi film horor di masyarakat, ditambah sekadar memanfaatkan unsur mistis yang terkandung dalam muatan budaya Jawa, terkadang dianggap sebagai sebuah pencemaran. Perlu diingat, film memiliki materi naratif dan sinematografisnya sendiri. Muatan budaya yang dimasukkan ke dalam film hanya diangkat sedikit dari unsurnya saja. Tidak ada tanggung jawab sebuah film fiksi untuk menjelaskan muatan budaya secara utuh. Justru, dengan sebagian kecil saja unsur budaya yang diangkat, kita dapat mengenal satu budaya tertentu dan mencari informasi yang lebih lengkap di luar film sebagai pembelajaran kita sendiri agar memahami konteks budaya yang diangkat oleh film. Film Indonesia dengan  muatan budaya akan menjadi satu identitas tersendiri di maraknya film dunia. Penonton atau komunitas budaya tertentu tidak perlu khawatir dengan interpretasi nilai budaya dari sebuah film yang bisa saja dianggap melenceng dengan pemahaman kita.

Internalisasi Kebudayaan Nusantara

Bila membicarakan muatan budaya Nusantara di dalam film, banyak ruang diskusi yang terbuka untuk menjelaskannya. Diskusi ini akan melahirkan pemahaman yang kuat tentang film Indonesia di zaman sekarang ini. Banyaknya ruang untuk melahirkan diskusi tentang film Indonesia justru menguatkan film Indonesia supaya memiliki identitas tersendiri. Ruang diskusi ini juga menunjukkan adanya potensi dari unsur film Indonesia yang dapat “menjual”. Untuk lebih luas lagi, muatan budaya Nusantara dalam film dapat menjadi karakteristik khusus yang dimiliki film Indonesia di perfilman dunia.

            Film Primbon terbilang cukup berhasil untuk memasukkan muatan budaya yang dikemas dengan drama yang baik dengan sentuhan horor yang mampu menarik penonton. Film ini memperlihatkan usaha bahwa membuat horor dengan drama yang berkualitas juga dapat dilakukan agar masyarakat lebih mengenal budaya Jawa tanpa harus selalu menakut-nakuti penonton. Efek seram yang dapat mengukuhkan stereotip bahwa unsur mistis budaya Jawa sangat justru menjadi nilai tambah dalam pelestarian budaya yang mampu memperkenalkan budaya tersebut ke masyarakat yang lebih luas. Namun, perdebatan dengan komunitas budaya, khususnya budaya Jawa yang diidentikkan dengan horor, perlu kita bongkar lagi materi film pada sebagai sebuah karya seni yang patut diapresiasi. 

Apresiasi ini terkait dengan vraisemblance dan bienséance sebuah karya yang menjadi potret masyarakat. Vraisemblance terkait dengan logika cerita yang dapat dipercaya karena memiliki hubungan logis dengan apa yang dipahami oleh masyarakat. Dalam hal ini, dalam budaya yang memercayai primbon Jawa akan mengaitkan hubungan kesialan di dunia dengan penghitungan khusus yang mereka pahami. Pengenalan budaya menjadi inspirasi yang dapat diangkat melalui film ini. dan dapat dikatakan berhasil dengan segala mise-en-scène yang mendukung. Begitu pun dengan bienséance yang terkait dengan kepatutan menampilkan logika itu dengan balutan genre filmnya. Ketika menjadi sebuah film drama, adegan mengharukan dari sebuah acara ruwatan dapat dikatakan cukup berhasil diangkat oleh film ini. Dengan sentuhan horor, internalisasi makhluk astral di saat yang tepat untuk unsur magis dari sebuah ritual itu dapat dimanfaatkan dengan baik dan pas di dalam film ini. 

Melalui pemahaman film sebagai sebuah media apresiatif dari budaya Nusantara untuk pelestariannya, perlu adanya penerimaan penonton untuk menghargai film sebagai sebuah produk budaya yang juga mencoba menginterpretasi potret budaya di masyarakat. Dengan kata lain, muatan budaya yang diangkat ini akan dapat menjadi penanda satu periode dalam perjalanan film Indonesia, atau yang lebih luas lagi, internalisasi muatan budaya ini menjadi sebuah genre khusus agar menjadi karakter perfilman Indonesia secara umum, baik dibalut dengan horor, drama, komedi, atau genre apa pun.

– Jiro Danusastro (Damar Jinanto) –

Leave a comment

Filed under P, Uncategorized

Leave a comment